Ketika Keluarga Astra Berebut Menara Telkom (Mitratel)
Ketika
Presiden Jokowi tegas mengatakan eksekusi mati napi narkoba jangan
diintervensi, itu sudah betul. Tapi ketika Presiden Jokowi seolah
menjadikan realisasi eksekusi mati sebagai bukti kedaulatan negara,
jelas itu adalah pencitraan. Agar semua sadar, kedaulatan negara RI
bukan hanya didasarkan pada eksekusi mati terpidana nan bebas intervensi
asing.
Sudahkah RI berdaulat atas emas Freeport?
Itu pertanyaan yang akan kita jawab di waktu yang lain.
Hari
ini kita akan membahas soal sengketa panas tukar guling saham Mitratel.
Pemerhati politik, ekonomi dan telekomunikasi, mestinya sudah akrab
mendengar tukar guling atau swap Mitratel. Tapi saya yakin, sedikit yang
menyadari bahwa perebutan saham Mitratel ini adalah bentuk lain
kompetisi keluarga eks Astra International.
Mereka
yang sudah dewasa, baligh atau setidaknya sudah memahami bacaan di
koran-koran tahun 1990-an, pasti mengenal soal kisruh Astra dan Bank
Summa. Generasi sekarang mungkin sudah melupakan kisruh Astra dan Bank
Summa.
Astra
International sudah menjadi salah satu perusahaan terbesar di Indonesia
pada tahun 1990-an. Di era Orde Baru, peran swasta tidak bisa lepas
sepenuhnya dari campur tangan pemerintah dan politik. Swasta yang tidak
dekat dengan pusat politik, tidak bisa besar di era itu. Itulah kenapa
lalu banyak orang mengeluarkan istilah kroni Cendana, meski sebenarnya
tidak sesederhana itu. Tapi memang, grup Salim, grup Lippo, grup Djarum,
grup Astra dan sebagainya, tak akan bisa menjadi raksasa tanpa
‘bantuan’ Cendana.
Seperti
Telkom di masa kini, salah satu perusahaan terbesar di Indonesia abad
21 ini juga tidak pernah lepas dari campur tangan politik. Kalau campur
tangan pemerintah jelas ada, karena Telkom adalah BUMN.
Kembali
ke Astra. Kebesaran Astra menjadikan siapa saja jebolan Astra menjadi
aset Premium. Sebut saja, Wakil Presiden kita Jusuf Kalla. Keluarga
Kalla mengawali bisnisnya dari memegang lisensi tunggal penjualan Toyota
di Indonesia Timur. Anda bisa tanya sama bos dan mantan bos Astra di
masa kini. Kalau anda tinggal di Indonesia Timur dan ingin buka showroom
mobil via Astra, mustahil tanpa izin ke keluarga Kalla, hingga saat
ini. Direktur Utama Astra International pun tak bisa intervensi. Semua
bos Astra hanya akan bilang : Sowan dulu ke pak JK, kalau ia approve,
maka kita approve. Bermula dari Astra, kini pak JK memegang kunci
kelangsungan Indonesia saat ini.
Bohong
kalau ada yang bilang pak JK bukan tokoh kunci arah Indonesia Timur.
Asal tahu saja, AS masih takut memerdekakan Papua karena pak JK masih
hidup. Sejak jaman dahulu, Papua adalah bagian dari wilayah
kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Secara adat, masyarakat Papua
masih ingin berada di bawah Indonesia karena pak JK, sang Raja Indonesia
Timur, masih hidup dan bergabung dengan Indonesia. Cerita akan lain
jika suatu saat Pak JK wafat, Papua merdeka tinggal tunggu waktu
diprovokasi.
Itu
bicara Pak JK, salah satu jebolan premium dari Astra. Lalu ada Edward
Soeryajaya, anak tertua pendiri Astra, William Soeryajaya. Edward
Soeryajaya, seharusnya menjadi pewaris tahta Astra International. Tapi
sayangnya, di puncak kejayaan Astra, Edward melakukan kesalahan fatal,
setidaknya begitu kata orang-orang.
Edward
Soeryajaya mendirikan Summa Financial di Hong Kong, yang kemudian
mendirikan Bank Summa di Indonesia. Kalau pernah dengar Bank Indover di
Belanda, itu hasil kerjasama Bank Indonesia dengan Bank Summa. Nah,
banyak orang bilang Edward Soeryajaya melakukan banyak sekali aksi
keuangan risiko tinggi melibatkan aset Astra dan pinjaman Bank Summa.
Dampaknya, ketika terjadi gempa keuangan di Summa dan Astra, semua
meleleh bersama.
Para
bos Astra pun pecah kongsi akibat ‘kehancuran’ yang diakibatkan aksi
keuangan risiko tinggi Edward Soeryajaya. William Soeryajaya, sang ayah
masih berusaha membela Edward. Jusuf Kalla juga berada di sisi Edward.
Rini Soemarno, Direktur Keuangan Astra yang menjadi orang kepercayaan
William Soeryajaya, juga membela Edward Soeryajaya. Bahkan jelang akhir
kehancuran total Astra, Edward Soeryajaya mengangkat Rini Soemarno
menjadi Direktur Keuangan Astra International.
Di
kubu lawannya, ada Edwin Soeryajaya yang merupakan adik Edward
Soeryajaya. Edwin menuding, semua kisruh Astra adalah hasil aksi
keuangan risiko tinggi yang dilakukan Edward Soeryajaya. Edwin
mengajukan diri mengambil alih Astra, namun saat itu William masih
berada di pihak Edward. Edwin tak sendiri. Di gerbong pendukung Edwin
Soeryajaya, ada Teddy Rahmat dan Subianto, dua jebolan premium dari
Astra lainnya.
Di
akhir cerita, William akhirnya berpihak pada kubu Edwin Soeryajaya
bersama Teddy Rahmat dan Subianto. Perubahan dukungan William terjadi
karena skema penyelamatan Astra yang ditawarkan Rini Soemarno dan Edward
Soeryajaya gagal total. Astra diambil alih sepenuhnya oleh BPPN. JK,
sebagai saudagar dan pedagang tulen, berakhir bersikap netral.
Jadi
sudah paham kan peta pertarungan Astra International di masa silam. Di
kubu Edward Soeryajaya, ada Rini Soemarno dan Jusuf Kalla. Di kubu Edwin
Soeryajaya, ada Teddy Rahmat, Subianto dan pada akhirnya, William
Soeryajaya.
Lantas, apa hubungannya kisruh Astra di masa silam dengan Telkom dan sengketa Swap Mitratel?
Jawabannya sederhana, pemainnya kurang lebih sama dengan peta kubu yang identik pula.
Telkom,
kurang lebih berposisi sama dengan Astra, perusahaan terbesar dengan
campur tangan politik tingkat tinggi. Mitratel merupakan anak usaha
Telkom yang bertugas mengelola menara-menara telekomunikasi milik
Telkom. Menara Telekomunikasi ini bukan BTS lho. BTS itu pemancarnya,
sedangkan Menara itu bangunan menaranya. Dalam satu menara bisa berisi
beberapa BTS.
Sejak
2012, keluarga eks Astra memang mengincar bisnis menara. Supaya lebih
mudah saya jabarkan disini peta kepemilikan menara 3 operator terbesar,
sebelum keluarga eks Astra bermain di area ini :
Telkom Group : 18.000 menara
-Mitratel : 4.000 menara
-Telkomsel : 14.000 menara
XL Group : 10.000 menara
Indosat Group : 8.000 menara
Pada
tahun 2012, Tower Bersama (TBI) membeli 2.500 menara Indosat senilai
US$ 406 juta. Harga 1 menara Indosat dibeli TBI kira-kira US$ 162.400.
Dengan kurs Rp 13.000/US$, 1 menara Indosat dibeli TBI seharga Rp 2,1
miliar.
Sisa
menara Indosat setelah 2.500 menara dibeli TBI adalah sebanyak 5.500
menara. TBI berpeluang membeli sisa 5.500 menara Indosat.
Pada
tahun 2014, Solusi Tunas Pratama (STP) membeli 3.500 menara XL senilai
US$ 460 juta. Harga 1 menara XL dibeli STP kira-kira US$ 131.428. Dengan
kurs Rp 13.000/US$, 1 menara XL dibeli STP seharga Rp 1,7 miliar.
Sisa menara XL setelah 3.500 menara dibeli STP adalah sebanyak 6.500 menara. STP berpeluang membeli sisa 6.500 menara XL.
Nah,
pada tahun 2014, Telkom juga membuka tender penjualan Mitratel yang
mengelola 4.000 menara Telkom. Ada 4 pihak yang ikut serta dalam proses
penawaran :
-Tower Bersama (TBI) milik Edwin Soeryajaya.
-Solusi Tunas Pratama (STP) miliak Patrick Waluyo, menantu Teddy Rahmat.
-Sarana Menara Nusantara (SMN), milik Djarum dan Salim bekerja sama dengan Edward Soeryajaya.
-Nusantara Infrastructure (NI) milik Jusuf Kalla dan Erwin Aksa.
Belakangan
STP mundur dari penawaran Mitratel, karena STP menang tender pembelian
3.500 menara XL pada 1 Oktober 2014. Dan kalau masih ingat, Edwin
Soeryajaya bersama Teddy Rahmat dan Subianto juga bersatu mengelola
Adaro Indonesia, perusahaan batubara premium di Indonesia. Patrick
Waluyo sebagai menantu Teddy Rahmat tidak mungkin berkompetisi dengan
TBI soal Mitratel. Makanya STP mundur dari penawaran Mitratel.
Jadi,
peta perebutan Mitratel tersisa 3 pemain, yakni TBI (Edwin Soeryajaya),
SMN (Djarum, Salim, Edward Soeryajaya) dan NI (JK dan Erwin Aksa).
Nah,
hasil akhir dari perebutan menara Mitratel dimenangkan oleh TBI (Edwin
Soeryajaya). MoU antara Telkom dan TBI pun digelar pada 10 Oktober 2014.
Kenapa Telkom memenangkan TBI soal Mitratel?
Karena
TBI menawarkan tukar guling saham, bukan menawarkan pembelian jual beli
putus. SMN (Djarum, Salim, Edward Soeryajaya) dan NI (JK dan Erwin
Aksa) menawarkan jual beli putus. Perbedaannya jelas, kalau Mitratel
dilepas ke SMN atau NI, maka kepemilikan Mitratel sepenuhnya tidak lagi
di tangan Telkom.
Lain
cerita dengan mekanisme swap. Jadi, saat ini Mitratel 100% dimiliki
oleh Telkom. Nah, setelah swap, Telkom akan memiliki 13,7% saham TBI,
sedangkan TBI memiliki 100% saham Mitratel. Artinya, dengan mekanisme
swap, Telkom tak hanya masih memiliki Mitratel, tetapi juga memiliki
TBI.
TBI
saat ini mengelola 11.000 menara, ditambah 4.000 menara Mitratel, total
ada 15.000 menara. Jadi dengan kepemilikan Telkom di TBI sebanyak
13,7%, Telkom masih menguasai 2.055 menara.
Keuntungan bagi Telkom apa sih dari swap ini?
Pertanyaan ini juga bagus ditanyakan pada Indosat dan XL yang sudah lebih dulu melepas menaranya.
Sederhananya
begini, tadinya perusahaan operator mengelola jaringan telekomunikasi
dan infrastruktur menaranya. Artinya, Telkom, Indosat, XL, harus siapkan
dana membangun menara, agar bisa memasang BTS (pemancar). Dampaknya,
pemerataan pembangunan telekomunikasi jadi lebih lambat, karena operator
harus investasi jaringan dan menara.
Lalu
muncul solusi, pembangunan menara tidak dilakukan oleh operator,
sehingga operator fokus investasi jaringan. Solusi ini dianggap tepat
untuk mencapai percepatan pemerataan telekomunikasi di Indonesia. Itulah
kenapa berbondong-bondong berdiri perusahaan pengelola menara. Lalu
operator juga berbondong-bondong menjual menaranya.
Jadi, sebelum ada solusi pengelolaan terpisah menara telekomunikasi, operator harus menyiapkan dana untuk :
-Pembangunan jaringan.
-Operasional jaringan.
-Pembangunan menara.
-Operasional perawatan dan pengelolaan menara.
Setelah
solusi pengelolaan menara secara terpisah muncul, operator jadi lebih
hemat karena hanya fokus pada pembangunan jaringan dan operasional
jaringan. Kebutuhan dana pembangunan menara dan operasional perawatan
menara, diserahkan sepenuhnya oleh perusahaan pengelola menara.
Ilustrasinya,
daripada harus membeli mobil operasional kantor sebanyak 100 unit, akan
lebih hemat kalau menyewa saja. Itulah yang terjadi pada industri
telekomunikasi terkait menara. Jadi yang bertugas membangun menara dan
memikirkan biaya operasional dan perawatannya ya perusahaan pengelola
menara. Operator hanya memikirkan biaya pembangunan dan operasional
jaringan.
Nah,
ada perbedaan antara yang terjadi pada Telkom dengan XL dan Indosat. XL
dan Indosat menjual putus menaranya, sehingga XL dan Indosat masih
harus mengeluarkan biaya sewa menara.
Untuk
kasus Telkom berbeda. Berhubung Telkom masih memiliki 13,7% saham TBI,
artinya Telkom menerima pemasukan dari TBI. Nah, pemasukan dari TBI ini
yang dikonversi menjadi biaya sewa menara. Jadi dengan menggunakan
mekanisme swap, Telkom tetap memiliki Mitratel dan tidak perlu bayar
sewa.
Jadi
secara kacamata bisnis, tidak benar kalau dikatakan Telkom dirugikan
dari Swap Mitratel. Karena faktanya, Telkom masih memiliki Mitratel.
Telkom juga memiliki TBI. Dan Telkom juga tidak perlu bayar sewa menara,
karena pemasukan dari TBI akan dijadikan biaya sewa menara.
Dari
sisi Telkom, tentunya akan terjadi penghematan besar-besaran. Selain
tidak perlu lagi membangun menara, Telkom juga tidak perlu bayar sewa
menara.
Lalu ada yang bilang harga swap TBI terhadap Mitratel terlalu rendah, dilihat dari mana?
Mari
kita hitung. Mitratel mengelola 4.000 menara. Nilai transaksi swap
Telkom dan Mitratel US$ 904 juta. Artinya, harga 1 menara Mitratel
dihargai TBI sebesar US$ 226.000. Dengan kurs Rp 13.000/US$, harga 1
menara Mitratel dibanderol Rp 2,9 miliar.
Bandingkan
dengan harga pembelian 1 menara Indosat oleh TBI senilai Rp 2,1 miliar.
Bandingkan juga dengan harga pembelian 1 menara XL oleh STP senilai Rp
1,7 miliar.
Jadi
kalau ada yang bilang swap Mitratel merugikan negara, merugikan dari
mana? Dibeli di harga premium kok. Saya bukan bela Telkom soal swap
Mitratel, tapi faktanya secara hitung-hitungan bisnis memang tidak
dirugikan. Justru Telkom memilih TBI karena hanya TBI yang menawarkan
mekanisme swap. Dengan Swap, Telkom jauh lebih hemat dari segi anggaran
dan Telkom tak hanya masih memiliki Mitratel, tapi juga memiliki
sebagian aset TBI.
Beda
hasilnya kalau Telkom menjual pada SMN (Djarum, Salim, Edward
Soeryajaya) dan NI (JK dan Erwin Aksa) yang menawarkan jual beli putus.
Dengan jual beli putus, Telkom kehilangan kepemilikan sepenuhnya atas
Mitratel dan masih harus mengeluarkan biaya sewa menara.
Tapi
memang sulit menempatkan Telkom sepenuhnya dalam kacamata bisnis.
Selalu ada politisasi bila bicara Telkom. Seperti kita lihat, usai
kegagalan SMN dan NI yang kalah dalam tender penjualan Mitratel,
kekuatan politik bergerak.
Edward
Soeryajaya melihat peluang ikut menghajar Edwin Soeryajaya. Edward
‘membantu’ SMN milik grup Djarum dan Salim melalui tangan Rini Soemarno,
orang kepercayaan Edward. Agendanya jelas, membatalkan Swap Telkom dan
TBI, setidaknya selama 1 tahun. Dengan bergabungnya Edward Soeryajaya
dalam kongsi SMN, diharapkan waktu 1 tahun cukup untuk menjadikan SMN
sebesar TBI.
Faktanya,
TBI dan STP adalah Emas, sedangkan SMN dan NI masih berskala Perunggu.
Agar bisa bersaing dengan TBI dan STP di industri menara, SMN dan NI
harus menghambat laju pertumbuhan TBI dan STP. Salah satu caranya,
membatalkan swap Mitratel antara Telkom dan TBI.
Edward
Soeryajaya mengerahkan Rini Soemarno dengan kekuatan penuh. Rini
Soemarno mengerahkan Maruarar Sirait (Ara) dari PDIP untuk menggerakkan
Serikat Karyawan Telkom, menggoyang Telkom dari dalam. Maruarar Sirait
juga mengerahkan Hendarwan Supratikno di Komisi VI DPR untuk menyuarakan
pembatalan swap Mitratel. Dalam hearing di DPR soal Mitratel, Rini
Soemarno dan DPR kompak menyatakan tolak Swap Mitratel. Pergerakan
Edward Soeryajaya untuk merebut Mitratel bekerja.
Rini
Soemarno sebagai Menteri BUMN merombak jajaran petinggi Telkom sebanyak
2 kali dalam waktu 4 bulan terakhir. Perombakan pertama petinggi Telkom
terjadi pada 19 Desember 2014. Jagoannya Rini yakni Hendri Saparini
(ekonom PDIP) dan Dolfie Othniel Frederic (politisi PDIP) masuk
Komisaris Telkom.
Maruarar
Sirait juga telah melobi JK di istana negara untuk bergabung menggoyang
Telkom. Dalam rapat tertutup itu, hadir juga Sofyan Wanandi.
Hasil
dari lobi Maruarar Sirait terhadap JK, adalah ikut sertanya JK dalam
pertarungan Mitratel. Sebagai bukti kerjasama, Taruna Merah Putih
(gerbong Ara) menggelar acara bareng PMI pada 29 Maret 2015, dihadiri
langsung oleh JK.
JK
lalu berhasil menempatkan 2 orangnya di jajaran komisaris Telkom pada
perombakan kedua yang dilakukan Rini Soemarno pada 17 April 2015. Semua
juga tahu kalau Rhinaldi Firmansyah (mantan Dirut Telkom) adalah
orangnya JK. Kini, Rhinaldi Firmansyah, pentolan dunia Telekomunikasi
didaulat menjadi Komisaris Telkom. Masuk juga, Pamela Johana, Corporate
PR Metro TV sekaligus Dewan Pakar Partai Nasdem dalam jajaran komisaris
Telkom.
Partai
Nasdem adalah partai yang mengusung JK dalam bursa Pilpres 2014. Jangan
lupa, Djarum dan Surya Paloh juga baru saja mengadakan kerjasama bisnis
strategis. Jangan lupa juga, Edward Soeryajaya adalah salah satu
penyokong dana Jokowi – Ahok di Pilkada DKI 2012. Lalu Edward Soeryajaya
juga penyokong dana Jokowi – JK di Pilpres 2014. Edward Soeryajaya
tentu tahu balas budi atas dukungan JK padanya, ketika kisruh Astra dan
Bank Summa di masa silam.
Jadi
secara peta, Edward Soeryajaya telah menguasai : Kementerian BUMN,
Komisi VI DPR RI dan Komisaris Telkom. Sementara JK juga berpartisipasi
menempatkan 2 orangnya di : Komisaris Telkom.
Apa yang dimiliki Edwin Soeryajaya dan TBI?
Sandiaga
Uno bergabung ke Gerindra. Semua juga tahu kalau Sandiaga Uno hanyalah
proxy Edwin Soeryajaya. Mungkin Edwin berharap, Sandiaga Uno masuk
Gerindra akan menciptakan kompetisi di Komisi VI DPR RI. Pada masa
Pilpres 2014, Edwin Soeryajaya memang bertaruh untuk Koalisi Merah
Putih, berseberangan dengan Edward Soeryajaya yang bertaruh pada Jokowi –
JK.
Jadi kalau melihat peta kekuatan di atas, jelas Edward Soeryajaya lebih unggul, sedangkan Edwin Soeryajaya kalah posisi.
Kongsi
Edward Soeryajaya bersama JK, Djarum dan Salim menguasai Kementerian
BUMN, Komisi VI DPR, Komisaris Telkom dan Serikat Karyawan Telkom. Edwin
Soeryajaya hanya berhasil menempatkan Sandiaga Uno di Gerindra dan
tidak mengendalikan Komisi VI DPR.
Jika
dahulu, Edwin Soeryajaya unggul melawan Edward Soeryajaya di kisruh
Astra, akankah kali ini situasi berbalik? Yang jelas, saat ini terlihat
jelas adanya konspirasi menggagalkan Swap Mitratel antara Telkom dan
TBIG oleh kongsi Edward Soeryajaya.
Mari kita simak kelanjutan kisahnya.
Allan Nairn Agen Proxy War
Nairn kembali muncul menjelang Pilpres Juli 2014 lalu |
peran seorang Allan Yoseph Nairn. Dia adalah agen Perang Proxy yang diusung negara Barat.
Sosok Allan Yoseph Nairn (lahir 1956 ), jurnalis investigasi asal Amerika Serikat yang menjulang namanya menjelang Pilpres Juli 2014 lalu, sesungguhnya bukan sosok baru di ranah politik Indonesia.
Nairn bersama Amy Goodman (lahir 1957) ditahun 1991 pernah masuk kawasan Timor Timur selama sekitar satu bulan sejak pertengahan oktober 1991. Keduanya adalah pemegang pasport USA masuk ke Indonesia dengan visa turis, dan mengaku sebagai penulis buku.
Ketika pecah tragedi Santa Cruz, 12 November 1991, Nairn dan Goodman ikut larut dalam aksi - demonstrasi yang digerakan sejumlah mahasiswa. Ketika tragedi itu kian berdarah – darah, Nairn dan Goodman hengkang dari Timor Timur dengan pesawat udara menuju Kupang.
Keduanya tidak sempat membayar biaya hotel dan laundry selama sebulan menginap di Hotel Turismo, senilai lebih dari satu juta rupiah, atau sekitar 600 dolar Amerika Serikat. Saat itu nilai tukar satu dolar Amerika Serikat masih berada di kisaran Rp 1.800 .
Kawasan Timor Timur yang sejak 1975 diterlantarkan Portugal akibat Revolusi Bunga yang terjadi sejak April 1974, kemudian berproses menjadi bagian dari NKRI sejak Desember 1975 hingga secara resmi Juli 1976 menjadi provinsi ke- 27.
Pengintegrasian Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia, selain muncul dari kehendak sebagian rakyat Timor Timur sendiri, juga merupakan dorongan dari negara - negara Barat terutama Amerika Serikat dan Australia yang khawatir kawasan Timor Timur menjadi basis komunisme.
Namun setelah dua dekade, sikap Amerika Serikat dan Australua berubah. Mereka tidak setuju Timor Timur berintegrasi ke dalam NKRI. Mereka ‘memerangi’ NKRI agar melepaskan Timor Timur. Namun perang yang mereka usung bukanlah perang konvensional, tetapi perang proxy, yaitu sebuah peperangan yang yang tidak harus melibatkan kedua negara tadi secara fisik.
Mereka menggunakan kekuatan pihak ketiga sebagai pemeran pengganti yang bisa berupa sebuah negara kecil, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan (Ormas) kelompok masyarakat bahkan perorangan. Di sinilah kita melihat dengan jelas peran seorang Allan Yoseph Nairn. Dia adalah agen Perang Proxy yang diusung negara Barat.
Setelah hangkang dari Timor Timur pada November 1991, Allan Nairn kerap berusaha masuk kawasan itu secara ilegal, dengan visa turis. Pada Maret 1998, dikabarkan bahwa Nairn kembali dideportasi akibat laporannya tentang militer Indonesia yang dikatakannya terlibat dalam penyiksaan dan pembunuhan warga sipil di Timor Timur.
Setelah itu, Nairn kembali berusaha masuk. Menurut pemberitaan The Jakarta Post edisi 20 September 1999, aparat imigrasi Kupang pernah menangkap dan mendeportasi Nairn pada 19 September 1999. Saat dideportasi, ternyata Nairn sudah berada di Indonesia (Kupang) sejak 82 hari sebelumnya, berarti sejak akhir juni 1999 Nairn sudah berada disana. Ia masuk dengan visa turis, namun secara diam-diam melakukan kegiatan ‘jurnalistik’ khususnya melaporkan perkembangan situasi di Timor Timur yang sedang dilanda perang saudara.
Kehadiran Nairn sebagai agen proxy war jelas berkaitan dengan desakan PBB untuk menyelenggarakan referendum yang berlangsung 30 Agustus 199. Akhirnya, sebagaimana kita ketahui melalui referendum itu mayoritas penduduk Timor Timur memilih berpisah dari Indonesia. Pada 20 Mei 2002 Timor Timur secara resmi menjadi negara berdaulat dengan nama Timor Leste.
Rupanya, laporan Nairn tentang situasi dan kondisi di Timor Timur kala itu, disampaikan juga kepada kelompok kiri (komunis) TAPOL yang berbasis di Inggris. TAPOL berkedok LSM yang “mengkampanyekan Hak Asasi Manusia, Perdamaian dan Demokrasi di Indonesia” didirikan pada 1973 oleh Camel Brickman, Warga Negara Inggris penganut komunis yang menikah dengan Suwondo Budiardjo, seorang pegawai pemerintah Indonesia di Praque Checoslovakia ketika negara itu masih mejadi bagian dari Uni Soviet. Namanya pun menjadi Carmel Budiardjo.
Kiprah TAPOL cenderung menyebar kebencian terhadap Indonesia di dunia internasional melalui media yang dikuasainya. Isu yang kerap disebar TAPOL adalah bahwa Indonesia menjajah Papua, menjajah Timor Timur, menjajah Aceh, melanggar HAM, dan sebagainya. Allan Nairn juga terlibat dalam berbagai kegiatan yang bertujuan mendiskreditkan Indonesia di dunia internasiaonal. Bahkan, hingga kini TAPOL masih aktif menggalang dukungan politik didunia internasional dalam rangka mendukung gerakan separatis di Indonesia.
Setelah sekian lama tak terdengar kiprahnya, Nairn kembali muncul menjelang Pilpres Juli 2014 lalu. Ia berkicau melalui blog-nya. Agen Proxy War ini mempunyai tujuan yang jelas, sasaran yang jelas namun hal yang pasti, dia tidak bisa melawan kekuatan rakyat.
No comments:
New comments are not allowed.